scispace - formally typeset
Search or ask a question
JournalISSN: 2089-1490

Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 

IAIN Salatiga
About: Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies is an academic journal published by IAIN Salatiga. The journal publishes majorly in the area(s): Islam & Politics. It has an ISSN identifier of 2089-1490. It is also open access. Over the lifetime, 141 publications have been published receiving 996 citations.


Papers
More filters
Journal ArticleDOI
TL;DR: In this article, the authors discuss the benefits of using social media in a research setting and discuss evidence that supports re searchers utilising social media for research purposes, as well as consider ethical issues.
Abstract: "> Indonesia is the largest Muslim country and the eighth largest Internet user in the world. Around 78 million people in Indonesia use the Internet in their daily lives. This provides new opportunities for Islamic education institutions and Muslim scholars to utilise this online space as a new research setting. Non-Islamic education institutions and scholars have utilised the Internet as a new avenue to conduct research, while Islamic education institutions and Muslim scholars have yet to make use of online space for research purposes. While dakwah, education and other Islamic social phenomena are being practiced on online platforms, Muslim scholars are yet to go online to understand this phenomenon. This paper addresses why Islamic institutions and Muslim scholars should go online and utilise the Internet as a new setting in their research agenda. This paper offers researchers at Islamic institutions the opportunity to consider new data collection and triangulation strategies to enhance their research output and paradigm. The paper’s discussion focuses on both quantitative and qualitative research methods. Some benefits of using social media in a research setting are discussed. Evidence that supports re searchers utilising social media for research purposes are also summarised. Future research needs to focus on the application of this idea in empirical contexts, as well as consider ethical issues. Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk Muslim terbesar didunia and pengguna Internet kedelapan besar didunia. Saat ini ada sekitar 78 juta penduduk Indonesia menggunakan Internet dalam keseharian mereka. Fakta ini menjadi peluang baru bagi lembaga pendidikan Islam dan para ahli Muslim untuk memanfaatkan sarana online tersebut sebagai salah satu tempat penelitian baru. Lembaga pendidikan umum dan para ahli non-Muslim telah lama memanfaatkan sara online tersebut untuk kepentingan penelitian mereka, sementara lambaga pendidikan Islam dan para pakar Muslim masih belum juga memanfaatkan peluang baru ini. Padahal sejumlah fenomena ke-Islaman sudah di praktekkan di dunia online seperti Dakwah, pendidikan, dan berbagai aktifitas sosial ke-Islaman lainnya. Tulisan ini mengkaji mengapa lembaga pendidikan Islam dan para ahli Muslim sudah harus merubah paradigma penelitian mereka dengan beralih ke dunia online sebagai tempat baru untuk melakukan penelitian. Tulisan ini menyimpulkan agar lembaga pendidikan Islam dan para ahli Muslim untuk mempertimbangkan strategi baru dalam pengumpulan data dan trianggulasi guna memperkaya hasil dan paradigma penelitian baik untuk penelitian kualitatif maupun kuantitatif. Tulisan ini juga menyajikan sejumlah keuntungan dari pemanfaatan dunia online sebagai k arena baru penelitian. Sejumlah argumen dan contoh-contoh juga disajikan guna memperkuat hasil penelitian ini. Tulisan ini juga menyarankan agar kedepan ada penelitian lain yang menggunakan data empiris terkait perlunya pemanfaatan dunia online dalam penelitian terkait Islam.

36 citations

Journal ArticleDOI
TL;DR: In this paper, the authors found the momentum to seeked the roots of the devolopment in Pesantren, Indonesia by trundling by students and people in 1998, all most thought and social movement domain are influenced by the reformation.
Abstract: Since reformation movement was trundled by students and people in Indonesia in 1998, all most thought and social movement domain are influenced by the reformation, primarily those relate to the religious understanding and its practice. At the time before reformation the people were in the quo status detention, who used to agree with all the uniformity of thought and movement— including in religious practice. However, in line with the reformation movement, the uniformity have been dissolved, so it encourages the emergence of various new religious thoughts. These have brought the consequences of emerging issues of islamic liberalism, funadamentalism, moderatism, ect. in Indonesia. The study of moderate Islam Indonesia have found the momentum to be seeked the roots of the devolopment in Pesantren. Sejak gerakan reformasi digulirkan oleh para mahasiswa dan masyarakat Indonesia pada tahun 1998, seluruh pemikiran dan gerakan sosial telah terpengaruh olehnya, khususnya terkait dengan pemahaman dan praktek keberagamaan. Pada saat sebelum reformasi digulirkan, masyarakat Indonesia berada dalam tekanan status quo, di mana mereka sudah terbiasa hidup dalam keseragaman dalam pemikiran dan gerakan —termasuk di dalamnya adalah praktek keberagamaan. Akan tetapi, dengan digulirkannya gerakan reformasi tersebut, keseragaman (uniformitas) telah menjadi pudar, dan hal ini telah memunnculkan berbagai model pemikiran keagamaan yang baru. Hal ini telah membawa konsekuensi terhadap munculnya isu-isu tentang liberalisme, fundamentalisme, moderatisme, dan sebagainya di Indonesia. Kajian tentang Islam moderat di Indonesia ini telah menemukan momentumnya, untuk dicarikan dasar-dasar pengembangannya di pesantren.

32 citations

Journal ArticleDOI
TL;DR: The authors examines the role of moderate Islam in the rapid development of the digital platform as the new of the public sphere, and finds that they have difference respond to dealing with the presence of the new religious authorities.
Abstract: The landscape of the Indonesian public sphere amidst the rise of new media has opened both opportunities and threats dealing with Islamic teaching. This condition shapes a danger for the two largest of moderate Muslim Organisations (Muhammadiyah and Nahdatul Ulama/NU), in which they do not engage a lot of this development of the digital platform. Consequently, dealing with religious issues, their voices become voiceless. By employing desk research through some relevant references and collecting information from social media, specifically Instagram and Youtube, this article examines the role of the Islamic organization of moderate Islam in the rapid of the digital platform as the new of the public sphere. The article finds that they have difference respond to dealing with the presence of the new religious authorities. In comparison, while Muhammadiyah is more accepting of them calmly, NU is more reactively in responding. Lanskap ruang publik Indonesia di tengah muncunya media sosial membuka kesempatan sekaligus ancaman terkait dengan dakwah Islam. Hal itu merupakan ancaman bagi dua organisasi besar Moderat Islam di Indonesia (Muhammadiyah dan NU), di mana mereka menjadi kelompok minoritas dalam aktivitas dakwah online. Akibatnya, berkaitan dengan issu-isu keagamaan, suara mereka menjadi tidak terdengar/didengarkan. Dengan melakukan riset studi literatur yang relevan dan informasi yang didapatkan dari akun media sosial, khususnya Instagram dan Youtube, artikel ini menjelaskan peranan organisasi Islam moderat di tengah cepatnya platform digital di ruang publik. Artikel ini menemukan bahwa Muhammadiyah dan NU memiliki respon yang berbeda terkait dengan kehadiran otoritas keagamaan baru. Sebagai perbandingan, penerimaan Muhammadiyah terhadap kehadiran mereka terlebih lebih biasa ketimbang dengan NU yang reaktif.

30 citations

Journal ArticleDOI
TL;DR: In this paper, the authors argue that Islamic religious education should be em-powered in order to reduce the spread of radicalism in Indonesian national system of education, and further offer Living Values Education (LVE) as a theoretical framework to develop Islamic religious Education which is com- patible with this goal.
Abstract: In Indonesian national system of education, Islamic religious education is compulsory for all levels of formal education. Taking into account such a position, Islamic religious education is potentially strategic in responding to some of the main issues in religious life. One issue examined in this paper is radicalism that continues to overshadow the dynamics of religious life in In- donesia. Although numerous attempts (mainly security approach) to eradi- cate radicalism have been taken, radicalism is still a prominent problem in Indonesia. This paper argues that Islamic religious education should be em- powered in order to reduce the spread of radicalism. In order to bring these ideas into reality, this paper further offers Living Values E education (LVE) as a theoretical framework to develop Islamic religious education which is com- patible with this goal. Pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia merupakan salah satu materi yang wajib diajarkan dalam institusi pendidikan formal mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Dengan mempertimbangkan posisinya yang demikian, pendidikan agama Is- lam memiliki potensi strategis untuk merespons beberapa persoalan utamanya dalam kehidupan agama. Salah satu persoalan yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah radikalisme yang terus membayangi kehidupan umat beragama di Indonesia. Meskipun telah dirancang berbagai upaya untuk membendung radikalisme terutama dengan menggunakan pendekatan keamanan, radikalisme ternyata masih eksis di Indonesia. Tulisan ini menawarkan pendidikan agama Islam sebagai salah satu institusi pendidikan yang perlu diberdayakan untuk membendung arus radikalisme. Untuk mewujudkan pemikiran tersebut, tulisan ini selanjutnya menawarkan living values education (LVE) sebagai suatu kerangka teoritik untuk mengembangkan pendidikan agama Islam.

29 citations

Journal ArticleDOI
TL;DR: In this paper, the authors examine the discourse of Islamic activism in the online public sphere which makes the internet and online social media as a new vehicle in the transformation of traditional modern Islamic propaganda authority for technologically literate generation.
Abstract: The great Islamic mass rally which well known as “Aksi Bela Islam (Defending Islam action) 212” in Indonesia has always been claimed as the triumph of Islamic activism. This action continue to be voiced through social media such as Facebook, Twitter, Instagram, and so forth with the jargon “ 212 spirit “. The voluminous actions of “Aksi Bela Islam 212” sound like an authoritative propaganda jargon which are exhaled to spread the Islamic identity through the internet. Along with the proliferation of online Islamic activism, some major questions emerge about: (1) whether online religious discourse is an authoritative source that gives Muslim society an authority in religious propaganda; (2) to what extent the proliferation of online Islamic activism has shaped the new Islamic propaganda authority? The objective of this article is to examine the discourse of Islamic activism in the online public sphere which makes the internet and online social media as a new vehicle in the transformation of traditional-modern Islamic propaganda authority for technologically literate generation. The article highlights some transformations of traditional religious propaganda authority to the new one which appropriated with the technological advancement. Using political sociology approach, this article will maps an Islamic online activism, which is termed as Islamic clicktivism, and its relation to the religious propaganda authority. The finding of this article reveals that Islamic clicktivism can be an authoritative method in shaping religious and political discourses. Finally, this article argues that Islamic social movement in the millennial age – especially in the post 212 movement – has consistency to play a role in political contestation through the Islamic clicktivism. Gerakan aksi masal Islam yang dikenal dengan Aksi Bela Islam di Indonesia selalu diklaim sebagai kemenangan aktivisme Islam. Menyusul Aksi Bela Islam dalam ranah gerakan sosial, wacana serupa juga disuarakan melalui gerakan aktivisme secara daring yang disebarkan melalui berbagai media social seperti Facebook, Twitter dan Istagram dengan jargo “spirit 212”. Aksi berjilid-jilid dari Aksi Bela Islam ini terdengan seakan menjadi jargon propaganda otoritatif yang dihembuskan untuk menyebarkan identitas Islam melalui internet. Seiring dengan fenomena proliferasi gerakan-gerakan Islam daring tersebut, beberapa pertanyaan muncul: pertama, apakah diskursus keagamaan daring menjadi sumber otoritatif yang memberikan otoritas kepada masyarkat Muslim dalam hal propaganda agama? Kedua, sejauh mana proliferasi aktivisme Islam daring membentuk otoritas propaganda keagamaan baru? Sasaran dari artikel ini adalah menguji wacana aktivisme Islam di ruang public daring yang menjadikan internet dan media social daring sebagai kendaraan baru dalam transformasi otoritas propaganda keagamaan dari tradisional ke modern bagi kalangan melek milenial yang melek teknologi. Artikel ini menyoroti beberapa trasnformasi propaganda keagamaan tradisional menuju modern yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi-politik, artikel ini memetakan aktivisme Islam daring, yang diistilahkan dengan Islamic clicktivism, dan hubungannnya dengan otoritas propaganda keagamaan. Temuan artikel ini menunjukkan bahwa kliktifisme Islam dapat menjadi metode otoritatif dalam membentuk wacana keagamaan dan politik sekaligus. Pada akhirnya artikel ini menegaskan bahwa gerakan social Islam di era milenial – khususnya pasca gerakan 212 –secara konsisten mengambil peran dalam kontestasi politik identitas dengan menggunakan kliktifisme Islam.

27 citations

Performance
Metrics
No. of papers from the Journal in previous years
YearPapers
20238
202216
20214
202014
201911
201812