scispace - formally typeset
Open AccessJournal ArticleDOI

Sic et non : kebebasan dan pembatasan hak kemudahan dan perlakuan khusus

Dhia Al Uyun
- 03 Jan 2016 - 
- Vol. 31, Iss: 1, pp 1-26
TLDR
In this article, the main problem is the ratio legis HKPK in the constitution in Indonesia is discussed in the framework of the realization of gender justice it is seen in various minutes of the amendment formulation meeting.
Abstract
Sic et Non . Yes and no. Freedom and restriction of the essence of HKPK. Both are located face-to-face. Every country has a unique character in implementing and synthesizing. This matter will be discussed in this article. The main problem is the ratio legis HKPK in the constitution. In Indonesia, the ratio legis is constitutional rights. Ratio Legis HKPK in Indonesia is in the framework of the realization of gender justice it is seen in various minutes of the amendment formulation meeting. As part of human rights, HKPK emerges under a forum agreement to be an integral part of human rights. However, the textual HKPK does not limit the HKPK on gender differences. The decision of the Constitutional Court to legitimize the application of HKPK in cases of gender differences. In India and Pakistan is fundamental rights. In Germany leads to individualistis. In United States showed unwritten constitution. Finally in South Africa show the priority in the equality. Secondly, The freedom and restriction are both, sythese as morallity and realize by rule.

read more

Content maybe subject to copyright    Report

SIC ET NON: KEBEBASAN DAN PEMBATASAN
HAK KEMUDAHAN DAN PERLAKUAN KHUSUS
Dhia Al Uyun
dhia.aluyun@gmail.com
Universitas Airlangga
Abstract
Sic et Non. Yes and no. Freedom and restriction of the essence of HKPK. Both are located face-to-
face. Every country has a unique character in implementing and synthesizing. This matter will be
discussed in this article. The main problem is the ratio legis HKPK in the constitution. In Indonesia,
the ratio legis is constitutional rights. Ratio Legis HKPK in Indonesia is in the framework of the
realization of gender justice it is seen in various minutes of the amendment formulation meeting.
As part of human rights, HKPK emerges under a forum agreement to be an integral part of human
rights. However, the textual HKPK does not limit the HKPK on gender differences. The decision
of the Constitutional Court to legitimize the application of HKPK in cases of gender differences.
In India and Pakistan is fundamental rights. In Germany leads to individualistis. In United States
showed unwritten constitution. Finally in South Africa show the priority in the equality. Secondly,
The freedom and restriction are both, sythese as morallity and realize by rule.
Keywords: Freedom; Restriction; HKPK; Afrmative Action; Discrimination.
Abstrak
Sic et Non. Ya dan tidak. Kebebasan dan Pembatasan merupakan hakikat dari HKPK. Keduanya
terletak berhadapan. Setiap negara memiliki karakter yang unik dalam menerapkan dan mensintesakan
keduanya. Hal inilah yang akan dibahas dalam artikel ini. Permasalahan utamanya adalah ratio legis
HKPK dalam Konstitusi di Indonesia dan berbagai konstitusi di dunia memperlihatkan karakteristik
yang berbeda. Di Indonesia, ratio legisnya adalah constitutional rights, sebagai perwujudan keadilan
gender hal ini nampak pada berbagai risalah sidang perumusan amandemen. Sebagai bagian dari
HAM, HKPK muncul berdasarkan kesepakatan forum menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
HAM. Namun, tekstual HKPK tidak membatasi HKPK pada perbedaan jenis kelamin. Adapun
putusan MK melimitasi penerapan HKPK pada kasus-kasus tentang perbedaan jenis kelamin. Di
India dan Pakistan ratio legisnya fundamental rights. Di Jerman mengarah pada individualistis. Di
Amerika Serikat memperlihatkan adanya unwritten constitution. Di Afrika Selatan memperlihatkan
prioritas pada persamaan. Permasalahan kedua adalah kebebasan dan pembatasan HKPK dalam
konstitusi memperlihatkan moral sebagai sintesanya dan aturan sebagai realisasinya.
Kata Kunci: Kebebasan; Pembatasan; HKPK; Afrmative Action; Diskriminasi.
Pendahuluan
Hak kemudahan dan perlakuan khusus (selanjutnya disebut HKPK) sama
dengan afrmative action (selanjutnya disebut AA) merupakan apa yang disebut
the special treatment yang berasal dari ide dasar treat like cases alike atau different
Dhia Al Uyun: Sic et Non
1
YURIDIKA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Jalan Dharmawangsa Dalam Selatan
Surabaya, 60286 Indonesia, +6231-5023151/5023252
Fax +6231-5020454, E-mail: yuridika@fh.unair.ac.id
Yuridika (ISSN: 0215-840X | e-ISSN: 2528-3103)
by http://e-journal.unair.ac.id/index.php/YDK/index under a Creative
Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0
International License.
DOI: 10.20473/ydk.v31i1.1955
Volume 31 No 1, Januari 2016
Article history: Submitted 3 November 2016; Accepted 3 January 2016; Available Online 31 January 2016

2 Yuridika: Volume 31 No 1, Januari 2016
cases differently.
1
HKPK merupakan proposisi yang muncul dari frase AA, yakni
a policy or program for correcting the effects of discrimination in the employment
or education of member of certain groups as women, black etc.
2
Pengaruh positif
AA adalah konsepsi ini dapat menunjukkan prinsip yang tidak hanya berakar dari
aktivitas, melainkan juga tanggung jawab negara untuk memenuhinya.
3
Dworkin
berpendapat, di waktu yang sama AA akan mengenalkan institusi untuk melihat
particular light, yang nampak di dalamnya keuntungan dan beban.
4
Di samping itu,
AA merubah konstitusi dari moral system menjadi political goals, sehingga tidak
memiliki dasar losos yang jelas.
Pada dasarnya AA atau HKPK merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Terdapat perbedaan pengaturan dan pengistilahan HKPK diberbagai negara.
Di Indonesia, HKPK ini merupakan hak yang ada pada Konstitusi Indonesia.
Hak tersebut tidak ada dalam konstitusi sebelumnya. Untuk itulah Majelis
Permusyawaratan Rakyat (lembaga legislatif) melakukan penambahan agar hak
tersebut termuat.
5
Alhasil, hak ini ada bersamaan dengan adanya berbagai pasal
tentang Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia. Pasal yang dimaksud
adalah Pasal 28H ayat 2 Konstitusi Indonesia. Keberadaan pasal tersebut bermula
tanggal 3 Oktober 1999. MPR melakukan Rapat Paripurna Sidang Umum ke-3
untuk membicarakan amandemen.
6
Kemudian diputuskan pada Rapat Komisi A
ke-4 tanggal 12-13 Agustus 2000 tentang keberadaan Pasal 28H ayat 2, Pasal 28I
ayat 1, dan Pasal 28D ayat 1.
Di Amerika Serikat hak tersebut dikenal dengan istilah AA. Istilah ini
1
H.L.A Hart, The Concept of Law (Oxford University Press 1961).[155].
2
Bernard E Whitley Jr; Mary E Kite, The Psychology of Preduce and Discrimination (2nd
edn, Wadsworth Cengange Learning 2010).[33].
3
Ursula O’Hare, ‘Equality and Afrmative Actions in International Human Rights Law and
Its Relevances to the European Union’ (2000) 4 International Journals of Discrimination and The
Law.[4].
4
Ronald Dworkin, Freedom’s Law ; The Moral Reading of The American Constitution
(Harvard University Press 1996).[62].
5 Afan Gaffar, Amandemen Konstitusi, Dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia
(Riza Sihbudi; Moch Nurhasim ed, AIPI dan Pathnership for Governance Reformin Indonesia 2002).
[432].
6 Tim Penyusun, Buku I Rapat Paripurna MPR RI Sidang Umum MPR RI : Risalah Nomor
MJ.240/4/99 (Sekjen MPR RI 1999).[109-124].

3
merupakan gerakan masyarakat Amerika Serikat berdasarkan Civil Rights Act
tahun 1866.
7
Di Eropa, AA diatur melalui European Convention on Human Rights
dan Fundamentals Freedom (EC Treaty) Protocol No. 11 (Rome 4 XI, 1950) Article
14.
8
Dalam peraturan ini AA merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus
dilindungi negara.
AA terus berkembang meskipun terdapat problematika di dalamnya. Harry J.
Holzer berpendapat bahwa, “Views on fairness are very subjective, and sometimes
impervious to empirical evidence”.
9
Selain itu problematika AA secara konseptual
muncul dari makna keadilan sehingga batasan apa yang disebut sulit ditentukan.
AA berpotensi menciptakan ketimpangan selanjutnya.
10
AA juga memunculkan
hitungan kuantitatif tentang durasi dan kuota tapi tidak memberikan penjelasan
tentang dasar penghitungannya,
11
AA bersifat sementara. Ketika kelompok
masyarakat yang dianggap timpang sudah setara, maka AA dapat dihentikan.
Namun penghentian itu juga akan subyektif.
Masuknya HKPK sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia memperlihatkan
pemikiran HAM sebagai moral rights bergeser menjadi constitutional rights.
Konstitusi Indonesia sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi, menjadi
landasan bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya. Sehingga aturan hak
konstitusional dapat ditafsirkan, diubah, diganti bahkan direview terkait tentang
pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat melalui konstitusi.
12
Salah satu data
7
Samuel Leiter dan Wiliam M. Leiter, Afrmative Action in Antidiscrimination Law and
Policy (State University of New York Press 2002).[2].
8
Herron, Rachel dan Claire, Supercially Similar but Fundamentally Different: A
Comparative Analysis of US and UK Afrmative Action (Durham University 2010) <http://etheses.
dur.ac.uk/662/>.[6-8].
9
Harry J Holzer dan David Neumark, ‘Afrmative Action: What Do We Know ?’ (2006) 25
Journals of policy Analysis and Management.[489-490].
10
David Simon, ‘Discrimination and Affrmative Action’ (2004) 3 Undergraduate Research
Journal for Human Sciences.[8].
11
John D Skrentny, ‘Have We Moved Beyond The Civil Rights Revolution?’ (2014) 123
The Yale Law Journal.[34];Daniel E Ho, ‘Afrmative Action’s Afrmative Actions: A Reply to
Sander (2005) 114 The Yale Law Journal.[6];Jessica Bulman Pozen, ‘Gruitter at Work: A Title
VII Critique of Constitutional Afrmative Action’ (2006) 115 The Yale Law Journal.[1424-
1430].
12
R. Herlambang Perdana Wiratraman, ‘Konstitusionalisme Dan Hak-Hak Asasi Manusia
(Konsepsi Tanggung Jawab Negara Dalam Sistem’ (2005) 20 Yuridika.[32].
Dhia Al Uyun: Sic et Non

4 Yuridika: Volume 31 No 1, Januari 2016
disajikan Utari, alasan kebebasan tidak mutlak dalam undang-undang.
13
Ian Mc Leod menyebutkan bahwa fundamental rights bukan milik Community
Legislation. Fundamental Rights merupakan Source of Law bukan part of law. Hal
ini sesuai dengan apa yang disebutkan Soepomo, bahwa Undang-Undang Dasar
adalah hukum dasar tertulis, di luar undang-undang dasar terdapat hukum dasar
yang tidak tertulis. Hukum dasar yang tidak tertulis itu disebut Peter Mahmud
Marzuki sebagai moral rights. Dalam pemikiran Peter Mahmud Marzuki, hukum
dasar tidak tertulis adalah hukum dalam pengertiannya sebagai moral, bukan sebagai
hukum positif.
14
Secara losos, timbul pergeseran makna hukum sebagai justitia
atau keadilan menjadi hukum yang tertuang pada peraturan perundang-undangan
tertulis. Semua fakta menjadi proposisi yang diatur secara detil. Sehingga hukum
yang dimaknai demikian, mengakibatkan hukum sebagai moral yang benar menjadi
solusi kasus tertentu.
Terbentuknya banyak peraturan yang mendikte hakim menyebabkan
hilangnya kewenangan hakim dalam menggali nilai-nilai yang berkembang
pada masyarakat (rechtsvinding). Pikiran hakim menjadi didikte oleh peraturan,
bukan oleh prinsip peraturan. Hal ini tentunya akan menjadikan alam pikir hakim
terkonstruksi positivistis dan ragu dalam memutuskan di luar peraturan, meskipun
hal tersebut sesuai dengan prinsip hukum.
15
D isisi lain tercipta celah hukum yang
mengaburkan kebenaran moral itu sendiri. Akibat banyaknya peraturan yang
berasal dari kasus kasus spesik, alternatif-alternatif penyelesaian kasus yang
didasarkan pada peraturan juga beragam, sehingga kasus yang diselesaikan ‘bisa
begini dan bisa begitu’ sesuai peraturan mana yang digunakan,
16
yang berupa bentuk
penerapan hukum yang salah dalam mengambil kesimpulan proses berlogika.
Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati menyebutnya dengan nama ex falso
13
Ni Ketut Sri Utari, Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (Universitas Airlangga 2012).[273].
14
Ian McLeod, Legal Method (MacMillan Press 1996).[216].
15
Janneke Gerards dan Hanneke Sanden, ‘The Structure of Fundamental Rights and The
European Court of Human Rights’ (2009) 7 Oxford Journal.[652].
16
Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum (Gadjah Mada University
Press 2014).[44].

5
quo libet artinya dari yang palsu (salah) se-enaknya bisa benar bisa salah. Faktor
kebetulan berperan dalam hukum bisa terjadi kesewenang-wenangan dan bahkan
muncul penyalahgunaan wewenang baru. Berbagai problematika di atas belum
terselesaikan hingga saat ini. Adapun beberapa permasalahan yang akan dikaji
adalah ratio legis HKPK dalam konstitusi di Indonesia dan berbagai konstitusi di
dunia dan kebebasan dan pembatasan HKPK dalam konstitusi.
Sic Et Non Kebebasan dan Pembatasan HKPK
Sic et Non adalah istilah dialektika menurut Plato (427-347 SM) yang
berpendapat bahwa dialektika mengandung persoalan ide-ide atau pengertian-
pengertian umum.
17
Namun, Plato juga menyatakan bahwa dialektika tidak dapat
menyelesaikan semua persoalan dan banyak lsuf yang terbelenggu dalam metode
ini.
18
Persoalan baik dan buruk, misalnya, diselesaikan dengan ethics.
19
Dialektika
berasal dari akal bukan pemahaman.
20
Dalam buku Aberald tahun 1121 -1122, buku
ini mengedepankan argumen dialektik untuk menguatkan dan menentang unsur-
unsur dari keduanya.
21
Ratio Legis HKPK dalam Konstitusi-Konstitusi
Keberadaan HKPK dalam konstitusi-konstitusi dapat dinilai dari tiga hal.
Pertama, berdasarkan bentuk perumusan dan maknanya. Dalam hal ini akan dibahas
tentang bentuk aturan yang merepresentasikan HKPK, serta akibat dari perumusan
tersebut. Kedua, berdasarkan sejarah perumusan hak tersebut. Ketiga, penerapan
aturan dalam berbagai kasus.
Ratio Legis HKPK di Negara Kesatuan Republik Indonesia
Ratio Legis HKPK di Indonesia adalah dalam rangka perwujudan keadilan
gender hal ini nampak pada berbagai risalah sidang perumusan amandemen.
17
Lili Rasjidi, Sari Kuliah Filsafat Hukum (Universitas Padajaran 1973).[23].
18
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat : Terjemahan History of Western Philosophy and
Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day
(Pustaka Pelajar 2002).[124].
19
Lili Rasjidi.Op.Cit.[23].
20
Bertrand Russell.Op.Cit.[168].
21
ibid.[580].
Dhia Al Uyun: Sic et Non

References
More filters
Journal Article

Have We Moved beyond the Civil Rights Revolution

John D. Skrentny
- 01 Jun 2014 - 
TL;DR: Ackerman's account of the Civil Rights Revolution stresses the importance of popular sovereignty and the separation of powers as the basis of constitutional significance as discussed by the authors. But how well does this account explain the current state of employment civil rights in the U.S.
Journal ArticleDOI

Grutter at Work: A Title VII Critique of Constitutional Affirmative Action

TL;DR: This paper argued that the narrow-tailoring discussion in the opinion of Grutter v. Bollinger points to a model of racial difference that champions subjective decision-making and threatens to jettison numerical accountability.
Book

Etika Umum. Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.

TL;DR: In this article, von Magnis menyajikan uraiannya dalam bahasa yang juga dapat dimengerti oleh orang ying belum ahli.