scispace - formally typeset
Journal ArticleDOI

REVIEW:The Characteristics of Genetic Resource of Bali Cattle (Bos-bibos banteng) and the Alternative of It's Conservation Methods

Achmad Nur Chamdi
- 01 Jan 2005 - 
- Vol. 6, Iss: 1, pp 70-75
Reads0
Chats0
TLDR
The result of this study shows that the characteristics on genetic resource of Bali cattle which comprises documentation, evaluation on reproduction and production, and attempt in increasing Bali livestock’s genetic quality in Indonesia have been done, eventhough those are still limited.
Abstract
Bali cattle is an Indonesian native beef cattle, the result of domestication of Banteng (Bos-bibos banteng). The main problem faced in the development of Bali cattle is the low quality of breed, which is predicted as the effect of inbreeding or raising management. The affects of genetic and cross breeding which usually inflict a loss are the decreasing of cattle’s endurance, fertility and birth weight. Seeing the fact, the government effort to introduce a quality bull to the breed source areas, the determination of cattle release including the controll on the cutting of productive female cattle, and to exactly count the number of Bali cattle which can be released in order to do not disturb its population balance, so it is necessary to do conservation attempt by in-situ and ex-situ. The result of this study shows that the characteristics on genetic resource of Bali cattle which comprises documentation, evaluation on reproduction and production, and attempt in increasing Bali cattle’s genetic quality in Indonesia have been done, eventhough those are still limited.© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS SurakartaKeywords: Bali cattle, animal genetic resource, reproduction, production

read more

Content maybe subject to copyright    Report

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X
Volume 6, Nomor 1 Januari 2005
Halaman: 70-75
Alamat korespondensi:
Jl. Ir. Sutami No. 36A Surakarta 57126.
Tel. & Fax.: +62-271-637457.
e-mail: ancham11@yahoo.com.
REVIEW:
Karakteristik Sumberdaya Genetik Ternak Sapi Bali
(Bos-bibos banteng) dan Alternatif Pola Konservasinya
The Characteristics of Genetic Resource of Bali Cattle (Bos-bibos banteng) and
the Alternative of It's Conservation Methods
ACHMAD NUR CHAMDI
Jurusan Produksi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126
Diterima: 16 Maret 2004. Disetujui: 10 Nopember 2004.
ABSTRACT
Bali cattle is an Indonesian native beef cattle, the result of domestication of Banteng (Bos-bibos banteng). The main problem faced in the
development of Bali cattle is the low quality of breed, which is predicted as the effect of inbreeding or raising management. The affects of
genetic and cross breeding which usually inflict a loss are the decreasing of cattle’s endurance, fertility and birth weight. Seeing the fact,
the government effort to introduce a quality bull to the breed source areas, the determination of cattle release including the controll on the
cutting of productive female cattle, and to exactly count the number of Bali cattle which can be released in order to do not disturb its
population balance, so it is necessary to do conservation attempt by in-situ and ex-situ. The result of this study shows that the
characteristics on genetic resource of Bali cattle which comprises documentation, evaluation on reproduction and production, and attempt
in increasing Bali cattle’s genetic quality in Indonesia have been done, eventhough those are still limited.
© 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: Bali cattle, animal genetic resource, reproduction, production.
PENDAHULUAN
Kondisi peternakan sapi potong saat ini masih
mengalami kekurangan pasokan sapi bakalan lokal karena
pertambahan populasi tidak seimbang dengan kebutuhan
daging nasional, sehingga terjadi impor sapi potong
bakalan dan daging (Putu et al., 1997). Kebutuhan daging
sapi di Indonesia saat ini dipasok dari tiga pemasok yaitu:
peternakan rakyat (ternak lokal), industri peternakan rakyat
(hasil penggemukan sapi potong ex-import) dan impor
daging (Oetoro, 1997). Sapi potong merupakan hewan
ternak dengan keanekaragaman jenis tinggi dan ditemukan
hampir di semua negara, termasuk Indonesia (Lelana et al.,
2003). Wilayah Indonesia didiami oleh tiga bangsa besar
ternak sapi potong yaitu Ongole, Bali dan Madura beserta
peranakan-peranakannya (Talib dan Siregar, 1998;
Kusumaningsih, 2002). Penyebaran bangsa-bangsa sapi ini
mulai dari ujung Sumatera sampai ke Maluku, dengan
proporsi sekitar 50% tersebar di Pulau Jawa (Talib dan
Siregar,1998). Populasi sapi bali di Indonesia sekitar
2.632.125 ekor atau sekitar 26,92% dari total populasi sapi
potong yang ada di Indonesia sehingga diharapkan dapat
menyuplai kebutuhan daging nasional (Tanari, 2001).
Sapi bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan
merupakan hasil domestikasi dari Banteng (Bos-bibos
banteng) (Hardjosubroto, 1994), dan merupakan sapi asli
Pulau Bali (Payne dan Rollinson, 1974 cit Sutan, 1988).
Sapi bali menjadi primadona sapi potong di Indonesia
karena mempunyai kemampuan reproduksi tinggi, serta
dapat digunakan sebagai ternak kerja di sawah dan ladang
(Putu et al., 1998; Moran, 1990), persentase karkas tinggi,
daging tanpa lemak, heterosis positif tinggi pada
persilangan (Pane, 1990), daya adaptasi yang tinggi
terhadap lingkungan dan persentase kelahiran dapat
mencapai 80 persen (Ngadiyono, 1997 cit Tanari, 2001).
Namun ada juga beberapa kekurangannya yaitu
pertumbuhannya lambat, peka terhadap penyakit
Jembrana, penyakit ingusan (malignant catarrhal fever) dan
Bali ziekte (Darmadja, 1980; Hardjosubroto, 1994).
Kunci pengelolaan yang optimal terhadap sumberdaya
genetika ternak adalah keragaman genetik. Perbedaan
genetik antar spesies, bangsa, kelompok ternak adalah
memungkinkan produsen memilih salah satu set gen untuk
mencapai tujuan tertentu pada suatu lingkungan tertentu
(Subandriyo, 1997). Mempertahankan keragaman genetik
sangat penting, akan tetapi langkah-langkah tertentu perlu
diperhatikan, apabila sumberdaya genetik akan dikelola
secara baik yaitu melalui karakterisasi sumberdaya genetik
ternak. Langkah pertama yang perlu diperhatikan adalah
dokumentasi. Dokumentasi adalah upaya untuk mengetahui
keberadaan suatu bangsa dan bagaimana performannya
pada berbagai macam kondisi lingkungan. Jadi
dokumentasi dilakukan untuk mengetahui informasi setiap
bangsa. Langkah kedua adalah evaluasi, yaitu
perbandingan antar dua bangsa atau lebih serta
persilangannya. Langkah ketiga adalah pengembangan
program pemuliaan (development breeding plan). Dalam
pengembangan program pemuliaan, tidak ada cara umum
yang dapat memenuhi semua situasi. Akan tetapi
pengetahuan yang diperoleh dari dokumentasi dan
evaluasi, serta struktur dari industri peternakan merupakan
dasar yang diperlukan dalam program pemuliaan. Langkah
keempat adalah konservasi. Konservasi mungkin perlu
'2,ELRGLYG

CHAMDI - Karakteristik Bos-bibos banteng
71
dilakukan atau mungkin tidak, informasinya tergantung
pada dokumentasi dan evaluasi (Turner, 1981). Dalam
makalah ini dikemukakan karakterisasi sumberdaya
genetika ternak sapi bali yang merupakan ternak lokal
Indonesia dalam kaitannya dengan upaya pelestarian yang
dilakukan terhadap ternak sapi bali di Indonesia.
TERNAK SAPI BALI
Sapi bali (Bos-bibos banteng) yang berasal dari
domestikasi Banteng dapat beradaptasi dengan baik pada
lingkungan setempat. Demikian pula dengan penyebaran
pada lingkungan di luar wilayah Indonesia (tropis dan sub
tropis), sapi bali tidak mengalami kesulitan dalam arti fungsi
reproduksi dan berjalan secara normal sebagaimana pada
daerah asalnya (Copland, 1974; Kirby, 1979; McCool, 1992,
Sivarajasingham, 1992; dan Asa et al., 1993 cit Talib et al.,
1998). Sampai saat ini penyebaran populasi sapi bali telah
meluas yang mencakup seluruh wilayah Indonesia,
termasuk di Pulau Jawa kecuali Propinsi DKI Jakarta.
Konsentrasi sapi bali terbesar adalah di Sulawesi Selatan,
Pulau Timor, Bali dan Lombok (Tanari, 2001). Jumlah sapi
bali di Sulawesi Selatan dan Pulau Timor telah jauh
melampaui populasi sapi bali ditempat asalnya Pulau Bali
(Soehadji, 1990). Sapi bali juga dapat ditemukan di kebun-
kebun binatang dan Taman Safari di luar negeri, secara liar
dan terpelihara juga dapat dilihat pada hutan-hutan tropis
dan negara-negara Asia Tenggara dan Australia Utara
(Talib et al., 1998).
Ditinjau dari sistematika ternak, sapi bali masuk familia
Bovidae, Genus bos dan Sub-Genus Bovine, yang
termasuk dalam sub-genus tersebut adalah Bibos gaurus,
Bibos frontalis dan Bibos sondaicus (Hardjosubroto, 1994),
sedangkan Williamson dan Payne (1978) menyatakan
bahwa sapi bali (Bos-bibos Banteng) yang spesies liarnya
adalah banteng termasuk Famili bovidae, Genus bos dan
sub-genus bibos. Sapi bali mempunyai ciri-ciri khusus
antara lain: warna bulu merah bata, tetapi yang jantan
dewasa berubah menjadi hitam (Hardjosubroto, 1994). Satu
karakter lain yakni perubahan warna sapi jantan kebirian
dari warna hitam kembali pada warna semula yakni coklat
muda keemasan yang diduga karena makin tersedianya
hormon testosteron sebagai hasil produk testes (Aalfs,
1934 cit Darmadja, 1980).
Karakteristik lain yang harus dipenuhi dari ternak sapi
bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha,
pinggiran bibir atas, dan pada paha kaki bawah mulai
tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu
pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga
putih, terdapat garis hitam yang jelas pada bagian atas
punggung, bentuk tanduk pada jantan yang paling ideal
disebut bentuk tanduk silak congklok yaitu jalannya
pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar
lalu membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya
membengkok sedikit keluar. Pada yang betina bentuk
tanduk yang ideal yang disebut manggul gangsa yaitu
jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah
ke belakang sedikit melengkung ke bawah dan pada
ujungnya sedikit mengarah ke bawah dan ke dalam, tanduk
ini berwarna hitam (Hardjosubroto, 1994).
EVALUASI TERNAK SAPI BALI
Ukuran linier tubuh ternak
Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan
ternak sapi bali adalah rendahnya kualitas bibit yang diduga
akibat dari faktor
inbreeding (silang dalam) atau tatalaksana
pemeliharaan. Pengaruh genetik dan kawin silang yang
biasanya merugikan yaitu penurunan daya tahan,
kesuburan ternak dan bobot lahir ternak (Sariubang et al.,
1998). Hal ini sesuai dengan pernyataan Mikema (1987)
bahwa pengaruh silang dalam dapat meningkatkan proporsi
lokus-lokus genetik yang heterosigot, bersamaan dengan
itu akan terjadi "depresi persedarahan" yang berakibat pada
berkurangnya daya tahan, kesuburan dan bobot lahir
ternak. Warwick et al. (1983) menyatakan bahwa
perkawinan silang dalam pada ternak sapi potong
mengakibatkan penurunan bobot badan sebesar 2,5-5,0 kg
setiap kenaikan 10% silang dalam.
Melihat kenyataan tersebut, pemerintah berupaya
mengintroduksikan pejantan unggul pada daerah sumber
bibit pada tahun 1989/1990. Pada awalnya diprogram
bahwa satu wilayah diintroduksikan satu jenis pejantan
(semen). Terbukanya informasi dan adanya kesempatan
yang sama untuk memilih jenis semen yang disukai
menyebabkan berbagai bangsa telah disebarkan ke
beberapa wilayah (Sitorus et al., 1995). Pada saat ini
walaupun proporsi genotipe induk sapi bali (asli) yang
dimiliki peternak masih tinggi, akan tetapi persilangan
dengan jenis sapi lain melalui program Inseminasi Buatan
(IB) telah banyak terjadi. Kecenderungan peternak
melakukan persilangan antara sapi bali induk dengan jenis
semen lain yang unggul berdasarkan pada kenyataan
bahwa nilai jual anak sapi bali persilangan lebih baik
dibandingkan dengan anak sapi bali murni. Melihat
kecenderungan peternak untuk melakukan persilangan
antar breed sapi ini, dimungkinkan untuk dilakukan evaluasi
anak sapi persilangan hasil IB. Evaluasi penampilan
produksi dapat dilihat dari bobot badan dan pertambahan
bobot badannya. Pendekatan lainnya yaitu dapat dengan
mengamati ukuran linier tubuh sapi yang berkorelasi erat
dengan bobot badan (Handiwirawan et al., 1998). Hal ini
sesuai dengan pendapat Hardjosubroto (1994) bahwa
beberapa ukuran tubuh ternak telah diketahui berkorelasi
dan merupakan indikator bagi bobot badan sapi seperti
tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan.
Sariubang et al. (1998) melaporkan bahwa introduksi
pejantan luar ke dalam populasi sapi bali di daerah sumber
bibit Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan ternyata dapat
meningkatkan bobot lahir rata-rata 1,92 kg pada turunan
pertama (F
1
). Demikian juga lingkar dada dan tinggi
pundak, sedangkan panjang badan tidak nampak
pengaruhnya. Data bobot lahir pada Tabel 1 menunjukkan
bahwa pengaruh pejantan unggul nyata (P<0.05) terhadap
bobot lahir anak. Dimana JU x BL berbeda nyata (P<0.05)
dengan JL x BL maupun JL x BDS, sedangkan JL x BL dan
JL x BDS tidak berbeda nyata (P>0.05).
Lebih lanjut dilaporkan bahwa korelasi ukuran-ukuran
tubuh pada saat lahir dan pada saat mencapai umur bibit (2
tahun) terlihat bahwa pertumbuhan ukuran tubuh pada
turunan dari pejantan luar lebih besar dibandingkan dengan
turunan pejantan lokal (Tabel 2). Hasil penelitian ini sesuai
dengan yang dilaporkan Lasley (1978) bahwa peningkatan
bobot lahir ternak berkorelasi dengan bobot sapih.
Penampilan eksterior sapi bali sama halnya dengan
ternak ruminansia lainnya, yang dapat dipakai sebagai
indikator kemampuan produksi dan reproduksi. Tolok ukur
lingkar dada (LD) mempunyai hubungan yang erat dengan
bobot badan dengan koefisien korelasi sebesar 0,90-0,98
(Lana et al., 1979). Lingkar dada pada sapi bali dipengaruhi
oleh jenis kelamin, umur ternak, kondisi lingkungan
hidupnya seperti letak ketinggian dari permukaan laut
maupun pakan yang ada (Prabowo et al., 1992).

BIODIVERSITAS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 70-75
72
Tabel 1. Bobot lahir, tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan sapi bali persilangan di Kabupaten Barru dan Luwu, Sulawesi Selatan
(Sariubang et al., 1998).
Pengamatan
Parameter
Bobot lahir (kg) Tinggi pundak (cm) Lingkar dada (cm) Panjang badan (cm)
JL x BL 11,83 61,33 61,71 42,47
JU x BL 13,77 63,96 63,91 42,91
JL x BDS 11,95 58,90 57,45 41,51
Keterangan: JL = Jantan lokal, JU = Jantan unggul, BL = Betina lokal, BDS = Betina di bawah standar.
Tabel 2. Rata-rata ukuran linier tubuh sapi bali pada umur 2 tahun (Sariubang et al., 1998).
Ukuran tubuh Jenis kelamin JL x BL JU x BL JL x BDS
Jantan 108,8 + 3,4 105,8 + 7,0 107,7 + 6,9Panjang badan (cm)
Betina 104,0 + 0,2
103,0 + 1,8 100,6 + 7,1
Jantan 104,4 + 2,1 103,2 + 1,9 109,4 + 9,2Tinggi pundak (cm)
Betina 100,4 + 4,8
98,6 + 3,6 101,2 + 9,8
Jantan 148,5 + 4,2 141,7 + 5,3 149,8 +10,2Lingkar dada (cm)
Betina 133,2 + 8,0
131,1 + 7,6 137,7 + 9,2
Tabel 3. Ukuran tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada sapi bali dan persilangannya di Kabupaten Lombok Timur, NTB
(Handiwirawan et al., 1998).
Tinggi pundak (cm) Panjang badan (cm) Lingkar dada (cm)
Jenis
semen
Induk
<31 hari 61-90 hari < 31 hari 61-90 hari < 31 hari 61-90 hari
Bali 63,20+6,34
(10)
76,73+9,33
(11)
56,00+5,60
(10)
71,73+8,11
(11)
69,80+5,90 (10) 91,18+9,92 (11)Bali
Persilangan - - - - - -
Bali 68
(1)
86,67+6,09
(6)
56
(1)
82,00+6,45
(6)
75
(1)
106,83+12,09
(6)
Brahman
Persilangan 77,50+6,36
(2)
- 69,50+9,19
(2)
- 87,50+0,71 (2) -
Bali 70,00+2,16
(13)
82,42+7,60
(12)
65,00+4,14
(13)
80,42+8,76
(12)
78,62+3,07 (13) 105,00+11,92
(12)
Limousin
Persilangan 72,40+2,61
(5)
89,50+5,89
(6)
67,00+6,21
(5)
92,83+9,33
(6)
83,20+6,22 (5) 110,67+9,16 (6)
Bali 70,80+5,02
(5)
83,67+8,39
(12)
59,00+9,33
(5)
84,25+8,19
(12)
76,80+6,30 (5) 106,00+9,84
(12)
Simental
Persilangan 79,67+3,20
(6)
89,36+5,84
(11)
73,00+1,10
(6)
90,64+12,51
(11)
85,00+2,10 (6) 117,27+21,91
(11)
Keterangan: angka dalam kurung adalah jumlah sapi yang diukur.
Lubis dan Sitepu (1998) melaporkan bahwa pada sapi
bali betina umur 2-2,5 tahun menunjukkan rata-rata tinggi
pundak antara 112-114 cm, panjang badan antara 115-116
cm dan lingkar dada antara 151-154 cm. Sedangkan
Handiwirawan et al. (1998) melaporkan bahwa ukuran
tinggi pundak sapi bali lebih rendah dibandingkan dengan
sapi persilangan Brahman x Bali (Brahbal), Limousin x Bali
(Limbal), Simental x Bali (Simbal). Pada kelompok umur
<31 hari ukuran tinggi pundak sapi bali adalah 63,20+6,34
cm, sedangkan yang tertinggi adalah persilangan dengan
Limousin dan Simental (70,00+2,16 dan 70,80+
5,02 cm).
Pada kelompok umur 61-90 hari, tinggi pundak anak sapi
persilangan dengan Brahman menjadi paling tinggi diantara
sapi persilangan dengan Limousin dan Simental
(86,67+6,09 vs 82,42+
7,60 dan 83,67+8,39 cm). Ukuran
panjang badan terpendek untuk kelompok umur <31 hari
adalah pada sapi bali yaitu 56,00+5,60 cm sedangkan yang
paling panjang adalah sapi Limbal yaitu 65,00+4,14 cm.
Ada kecenderungan sapi Brahbal memiliki pertambahan
ukuran panjang lebih cepat dibanding sapi yang lain, hal ini
terlihat pada kelompok umur 61-90 hari, sapi Brahbal
memiliki ukuran 82,00+6,45 cm sedangkan sapi Limbal
memiliki ukuran 80,42+8,76 cm. Diantara ukuran lingkar
dada sapi persilangan pada umur <31 hari, sapi Limbal
memiliki ukuran sedikit lebih panjang yaitu 78,62+3,07 cm,
akan tetapi pada umur 61-90 hari sapi Brahbal, Limbal dan
Simbal memiliki ukuran relatif sama, berturut-turut
106,83+12,09 cm; 105,00+11,92 cm dan 106,00+9,84 cm
(Tabel 3).
Reproduksi ternak
Dalam upaya pengembangan populasi ternak sapi Bali,
kasus kegagalan reproduksi merupakan kejadian yang
sering dijumpai. Di lapangan, keadaan ini biasanya
terungkap antara lain dengan keterlambatan dewasa
kelamin, nilai service per conception (S/C) yang tinggi, jarak
beranak yang panjang dan selang post partus estrus yang
panjang (Majestika, 1998). Nilai service per conception sapi
bali yaitu 1,22 (Davendra et al., 1973), antara 1-2 (Lubis
dan Sitepu, 1998), dan 1,35 (Anonim, 1979). Lama
kebuntingan (pregnancy rate) sekitar 287+0,7 hari
(Davendra et al., 1973), 286+15 hari (Darmadja dan
Sutedja, 1976), 9,55 bulan (Pastika dan Darmadja, 1976),
dan antara 276-295 hari (Lubis dan Sitepu, 1998).

CHAMDI - Karakteristik Bos-bibos banteng
73
Kemudian rata-rata kembali birahi setelah beranak (post
partus estrus) antara 106-165 hari (Lubis dan Sitepu, 1998).
Sedangkan jarak beranak (calving interval) dilaporkan
antara 15,48-16,28 bulan atau 15,88+0,4 bulan (Davendra
et al., 1973), antara 373-683 hari atau 528+155 hari
(Darmadja dan Sutedja, 1976), dan antara 351-440 hari
(Lubis dan Sitepu, 1998). Jarak beranak yang ideal adalah
12 bulan (Bozwort et al., 1971), atau antara 12-14 bulan
(Jainudeen dan Hafez, 1987). Hal ini berarti bahwa dalam
waktu 60 hari setelah melahirkan, induk sapi harus sudah
dikawinkan atau diinseminasi kembali dan bunting. Jarak
beranak merupakan salah satu cara untuk mengukur
efisiensi usaha ternak (Bozwort et al., 1971), dan
menunjukkan tingkat performans reproduksi ternak sapi
(Fonseca et al., 1983).
Produktivitas ternak
Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor
ternak pada ukuran waktu tertentu (Hardjosubroto, 1994).
Produktivitas sapi potong biasanya dinyatakan sebagai
fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan (Seiffert,
1978). Wodzicka-Tomaszewska et al. (1988) menyatakan
bahwa aspek produksi seekor ternak tidak dapat dipisahkan
dari reproduksi ternak yang bersangkutan, sehingga dapat
dikatakan bahwa tanpa berlangsungnya reproduksi tidak
akan terjadi produksi. Dijelaskan pula bahwa tingkat dan
efesiensi produksi ternak dibatasi oleh tingkat dan efesiensi
reproduksinya. Menurut Djanuar (1985) bahwa produktivitas
sapi potong dapat ditingkatkan baik melalui modifikasi
lingkungan atau mengubah mutu genetiknya, namun dalam
prakteknya adalah kombinasi antara kedua alternatif di
atas.
Trikesowo et al. (1993) cit Tanari (2001) menyatakan
bahwa yang termasuk dalam komponen performans
produktivitas sapi potong adalah jumlah kebuntingan,
kelahiran, kematian, panen pedet (calf crop), perbandingan
anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot
setahun (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot
badan. Hasil penelitian terdahulu yang mengamati potensi
produksi sapi bali yaitu seperti bobot lahir antara 15-17 kg
(Djagra et al., 1979), persentase kematian sebelum dan
sesudah disapih yang mencapai 7-27% (Darmadja dan
Sutedja, 1976; Sumadi et al., 1982; Nggobe et al., 1991),
dan kematian dewasa yang mencapai 2,7% (Sumbung et
al., 1978).
Selanjutnya, Putu et al. (1998) melaporkan bahwa
pemberian pakan konsentrat tambahan sebanyak 3
kg/ekor/hari pada sapi bali umur kebuntingan +7 bulan
memberikan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)
yang lebih tinggi setelah 47 hari perlakuan dibandingkan
kelompok kontrol pada sapi bali (0,53 vs 0,14 kg/ekor/hari).
Sedangkan bobot lahir anak dari sapi bali yaitu 22,93 vs
20,21 kg. Angka kematian anak sapi bali sebelum umur 47
hari pada kelompok tanpa pemberian pakan konsentrat
tambahan (kontrol) lebih tinggi dibandingkan dengan
pemberian konsentrat yaitu sebesar 12,5% vs 6,3% (Tabel
4). Penyebab kematian anak sapi bali secara umum
disebabkan oleh faktor lingkungan dan genetik. Menurut
Talib et al., 1998), faktor-faktor tersebut yaitu bobot lahir
yang rendah, kondisi fisik ternak, produksi susu induk
rendah, waktu laktasi yang pendek (4 bulan) dan
kekurangan pakan pada saat disapih.
Bahar dan Rakhmat (2003) melaporkan bahwa
pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi bali yang
digembalakan dengan pakan hijauan lokal pada musim
kemarau berkisar antara 0,05-0,1 kg/ekor/hari, sedangkan
pada musim hujan antara 0,2-0,4 kg/ekor/hari. Sehingga
untuk meningkatkan produktivitas sapi bali khususnya di
musim kemarau perlu pemanfaatan secara maksimal
limbah pertanian seperti jerami padi, jerami kacang dan
jerami ubi jalar, serta pemanfaatan daun leguminosa untuk
perbaikan nutrisi ternak. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Vercoe dan Frisch (1980) bahwa sifat produksi dan
reproduksi ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain bangsa sapi, keadaan tanah, kondisi padang rumput,
penyakit dan manajemen. Termasuk dalam hal ini
manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan ternak.
Oleh karena itu perbaikan mutu sapi potong haruslah
ditekankan pada peningkatan sifat produksi dan reproduksi
yang ditunjang oleh pengelolaan yang baik dari segi
zooteknis dan bioekonomis.
UPAYA PELESTARIAN TERNAK SAPI BALI
Dalam upaya pelestarian dan pengembangan populasi
ternak sapi bali sebagai sumberdaya genetika ternak lokal
Indonesia, perlu diperhatikan faktor pemuliaan ternak.
Program pemuliaan ternak sapi bali dapat dilakukan melalui
seleksi persilangan, yang pelaksanaannya tergantung dari
dokumentasi dan evaluasi pada kondisi tertentu. Pemuliaan
ternak melalui seleksi pada umumnya sangat lambat, akan
tetapi seleksi harus tetap dilaksanakan untuk
mempertahankan kemurnian dan konservasi melalui usaha
pengelolaan ternak sapi Bali. Penyebaran sapi bali telah
meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia. Konsentrasi
sapi bali terbesar di Sulawesi selatan, Pulau Timor, Bali dan
Lombok, namun kemurnian sapi bali tetap dipertahankan di
Pulau Bali, sebagai sumber bibit yang pembinaannya
dilakukan oleh Proyek Pembibitan dan Pengembangan
Tabel 4. Performans produksi dan reproduksi sapi bali setelah diberi pakan konsentrat (Putu et al., 1998).
Sapi Bali
Kontrol (K) Perlakuan (P)Parameter
n Min Max Rerata n Min Max Rerata
Bobot awal (kg) 16 184 301 247,5 16 199 319 247,56
Score kondisi badan 16 3 6 4,18 16 3 6 4,06
Bobot hari ke-47 (kg) 16 186 308 255,38 15 240 344 273,67
PBBH hari ke-47 (kg/ekor) 16 -0,64 0,70 0,14 15 -0,19 1,34 0,53
Persentase kelahiran (%) 15 - - 93,80 16 - - 100,00
Berahi setelah partus (%) 3 - - 18,75 2 - - 13,33
Berat lahir (kg) 14 16 30 20,21 16 16 28 22,93
Berat lahir betina (kg) 8 16 23 18,60 8 16 23 19,50
Berat lahir jantan (kg) 6 16 30 22,3 8 16 28 20,60
Mortalitas anak (%) 2 - - 12,50 1 - - 6,25

BIODIVERSITAS Vol. 6, No. 1, Januari 2005, hal. 70-75
74
Sapi bali (P3-Bali) (Tanari, 2001). Pemerintah juga telah
berupaya untuk meningkatkan mutu genetik ternak sapi bali
antara lain melalui seleksi yaitu program pengembangan
pusat pembibitan ternak di daerah pedesaan (village
breeding centre). Sedangkan untuk pengembangan usaha
peternakan sapi Bali, Pemerintah menerapkan pola
pengembangan peternakan rakyat melalui dua model, yaitu
Pola Swadaya dan Pola Kemitraan. Pola swadaya
merupakan pola pengembangan peternakan rakyat yang
mengandalkan swadaya dan swadana peternak, baik
secara individu maupun kelompok. Sedangkan pola
kemitraan (PIR-NAK) merupakan kerjasama yang saling
antara perusahaan inti dengan peternak rakyat sebagai
plasma. Dijelaskan pula bahwa dalam kerjasama atau
kemitraan ini, seluruh kegiatan pra-produksi, produksi
hingga pasca produksi dilakukan dengan kerjasama antara
plasma dan inti (Anonim, 1998; Bank Indonesia, 2003).
Tabel 5. Dinamika populasi ternak sapi bali di Propinsi Bali (1990-
2000) (Biro Pusat Statistik, 2000 cit Kusumaningsih, 2002).
Tahun Populasi ternak (ekor)
Perubahan
populasi (%)
1990 456.179 -
1991 435.789 - 4,68
1992 471.888 7,65
1993 483.687 2,44
1994 491.329 1,56
1995 513.700 4,35
1996 528.400 2,78
1997 538.800 1,93
1998 524.615 - 2,70
1999 526.013 0,27
2000 529.064 0,58
Selain itu, dalam melaksanakan pengembangan
populasi ternak sapi Bali, penentuan pengeluaran ternak
termasuk pengendalian pemotongan ternak betina produktif
perlu diperhatikan, dan menghitung dengan tepat jumlah
ternak sapi bali yang dapat dikeluarkan, agar tidak
mengganggu keseimbangan populasinya dari suatu wilayah
(Tanari, 2001). Tabel 5 menunjukkan dinamika populasi
ternak sapi bali di daerah asalnya yaitu Propinsi Bali,
dimana ada kecenderungan mengalami peningkatan
populasi sampai akhir tahun 1997, namun setelah itu
populasinya cenderung turun. Menurut Hardjosubroto
(1994) bahwa out put sapi potong dari suatu wilayah
tertentu agar keseimbangan populasi ternak potong
tersebut tetap konstan dipengaruhi antara lain natural
increase, tingkat kematian ternak, kebutuhan ternak
pengganti, jumlah ternak tersingkir, pemasukan ternak
hidup dan besarnya proyeksi kenaikan populasi ternak di
daerah tersebut.
Dalam upaya pengembangan ternak sapi bali di suatu
wilayah tertentu perlu dilengkapi dengan rancangan
peningkatan mutu genetik ternak (Winter, 2003). Salah satu
cara untuk mempertahankan mutu genetik ternak sapi bali
dan berbagai bangsa sapi lain di daerah sumber bibit
adalah menghitung dengan tepat jumlah sapi dari berbagai
mutu genetik bibit yang dapat dikeluarkan, seimbang
dengan jumlah dan mutu bibit yang perlu dipertahankan
sebagai ternak pengganti. Selain cara tersebut diatas
dapat pula dilakukan persilangan sapi bali dengan berbagai
bangsa lain. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa persilangan
sapi bali dengan berbagai bangsa lain menghasilkan sapi
silangan yang menunjukkan sifat pertumbuhan yang
meningkat sebanyak 50–100%. Hal ini terutama terjadi
sebagai hasil persilangan dengan sapi Bos Indicus, Bos
Taurus, dan berbagai bangsa baru silangan seperti Santa
Gertrudis, Droughtmaster, Belmot Red, Braford, Brangus
dan lainnya (Martojo, 1989).
Pentingnya upaya untuk melestarikan sumberdaya
genetika ternak sapi bali tidak perlu diragukan lagi, akan
tetapi akan lebih menguatkan apabila ditindaklanjuti dengan
pengorganisasian secara jelas dan dalam pelaksanaannya
didukung dengan peraturan perundang-undangan. Pelesta-
rian secara in-situ melibatkan banyak pihak, karena ternak
rakyat, pemilik dan masyarakat sekitarnya turut mempunyai
andil yang besar (Setiadi et al., 1998). Sehingga sebaiknya
dilakukan upaya pelestarian gabungan dari cara in-situ
maupun ex-situ, karena akan memberikan hasil yang lebih
menguntungkan. Salah satu cara untuk mencegah
kepunahan sapi bali dapat didekati dengan pendekatan
kriteria teknis, ekonomis, sosial budaya dan politis.
KESIMPULAN
Karakterisasi sumberdaya genetik ternak sapi bali
melalui dokumentasi dan evaluasi telah dilakukan,
walaupun masih sangat terbatas. Pengembangan program
pemuliaan ternak melalui seleksi telah diupayakan oleh
pemerintah melalui Proyek Pembibitan dan Pengembangan
Sapi bali (P3-Bali) dan pusat pembibitan ternak pedesaan
(village breeding centre), meskipun pada umumnya belum
seperti yang diharapkan. Upaya peningkatan mutu genetik
ternak sapi bali melalui persilangan telah dilakukan di
Indonesia sejak lama, tetapi secara umum kurang berhasil
karena tidak dilakukan secara sistematis dan tidak
dipertahankan adaptasi ternak impor terhadap lingkungan
Indonesia. Selain itu, juga perlu dilakukan upaya pelesta-
rian dan pengembangan ternak sapi bali secara gabungan
yaitu melalui cara in-situ dan ex-situ. Pendidikan dan
penyuluhan mengenai upaya pelestarian dan pemanfaatan
plasma nutfah secara berkelanjutan perlu disebarluaskan
kepada para peternak dan masyarakat secara luas.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1979. Laporan Performans Sapi bali dan Ongole di Propinsi Bali
dan Nusa Tenggara Timur. Bogor: Direktorat Jenderal Produksi
Peternakan dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
Anonim. 1998. Kajian Pola Pengembangan Peternakan Rakyat Berwawasan
Agribisnis. Bogor: Direktorat Jenderal Peternakan dan Lembaga
Penelitian IPB.
Bank Indonesia. 2003. Informasi sistem usaha kemitraan: dalam usaha
produksi ternak sapi potong.
http://www.bi.go.id/sipuk/lm/ind/sapi_potong/aspek_teknis_produksi.htm
Bahar, S. dan Rakhmat. 2003. Kajian pertumbuhan sapi bali yang
digembalakan dengan pakan hijauan lokal. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 28-29 September 2003.
Bozworth, R.W., G. Ward, E.P. Cal, and E.R. Bonewitz. 1971. Analysis of
factors affecting calving interval of dairy cows. Journal of Dairy Science
55: 334-339.
Copland, R.S. 1974. Observation on Banteng cattle in Sabah. Tropical
Animal Health and Production 6: 89.
Darmadja, S.D.N.D. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional
dalam Ekosistem Pertanian di Bali. [Disertasi]. Bandung: Universitas
Padjadjaran.
Darmadja, D. dan P. Sutedja. 1976. Masa kebuntingan dan interval beranak
pada sapi Bali. Prosiding Seminar Reproduksi Sapi Bali. Universitas
Udayana. Denpasar, Bali.
Davendra, C.T.; Lee, K.C. and Pathmasingam. 1973. The productivity of Bali
cattle in Malaysia. Agricultural Journal 49: 183-197.
Djanuar, R. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Djagra, I.B., I.K. Lana, dan I.K. Sulandra. 1979. Faktor-faktor yang ber-
pengaruh pada berat lahir dan berat sapih sapi Bali. Prosiding Seminar
Keahlian di Bidang Peternakan. Denpasar: Universitas Udayana.

Citations
More filters
Journal ArticleDOI

The Comparison of Chromosome Analysis Result by Manual and Software Cytovision Image Analysis Using Simple G-Banding

TL;DR: The karyotype analysis of all cattle showed that the chromosomes of one cell and different individual each breed varied in size, shape and position of centromere, which showed that all cattle tested in this research were normal categories.
Journal ArticleDOI

The estimation of growth curve of bali cattle at bone and barru districts, south sulawesi, indonesia using ten body measurements

TL;DR: The result showed that the growth of body measurements of Bali cattle until 24 months of age were still increasing and not reaching the mature size yet, while the place, sex and age factors were significantly affected to the growth.
Posted Content

Managing Sustainable Practice Changes in a Low Input Bali Cattle Production System in West Sumbawa

TL;DR: In this paper, an action research study was conducted in Sumbawa between 2010-2014 to assess contribution of approaches, methods and strategies towards farmers' practice changes in a low-input cattle production system aiming for higher productivity and profitability.
Journal ArticleDOI

Short Communication: The normal karyotyping result of Indonesian native breed bull qualified for artificial insemination

TL;DR: Dendrogram analysis showed that Bali and Madura cattle were closely related and derived more from their ancestor wild banteng than from Java cattle, it is recommended to perform a chromosomal investigation of breeding bulls especially those used for freezing semen production and AI implementation.
Journal ArticleDOI

Prospect development of local beef cattle from South Kalimantan as supporting to food sovereignty in Indonesia

TL;DR: In this paper, the authors proposed a real policy for encouraging farmers to maintain Indonesian local cattle to make sustainable food in Indonesia, which is one effort in national promoting food sovereignty program.
References
More filters
Journal ArticleDOI

Reproductive traits of Holsteins and Jerseys. Effects of age, milk yield, and clinical abnormalities on involution of cervix and uterus, ovulation, estrous cycles, detection of estrus, conception rate, and days open.

TL;DR: Clinical problems at parturition and postpartum lowered reproductive performance in both breeds and there was a slight antagonism between milk yield and reproductive performance (days open) in Jerseys but not in Holsteins.
Journal ArticleDOI

Buffalo and Bali cattle--exploiting their reproductive behaviour and physiology.

TL;DR: Water buffalo and Bali cattle occupy production niches in much of the developing world’s agricultural systems which in the developed world are occupied by Bos indicus and Bos taurus.
Journal ArticleDOI

Observations on Banteng cattle in Sabah.

TL;DR: Under conditions of nutritional stress, Banteng cattle are able to maintain body condition and high fertility (93 per cent) and a timid temperament limits the utilisation of these cattle under extensive conditions.
Journal ArticleDOI

Simulated selection for reproductive rate in beef cattle.

TL;DR: It appears that much of the improvement attained by any method of selection occurred in the first 20 yr, and maximum progress for breeding value in 40 yr was approximately .32 standard deviations for selection method four.
Related Papers (5)