scispace - formally typeset
Open AccessJournal ArticleDOI

Interaksi pbl-murder, minat penjurusan, dan kemampuan dasar matematis terhadap pencapaian kemampuan berpikir dan disposisi kritis

Maulana Maulana
- Vol. 2, Iss: 1, pp 1-20
TLDR
In this paper, the election factor of approaches and learning strategies, namely, problem-based learning with "MURDER" strategy, shared interests and their interaction majors and mathematical prior knowledge of the result of critical thinking skills and dispositions of PGSD students, is discussed.
Abstract
Selection of appropriate learning approaches and strategies, will facilitate the achievement of these learning activities. Similarly, in mathematics learning activities in PGSD (department of elementary school preservice teacher), which is demanding the development of a high level of mathematical ability as well as critical thinking skills. However, not many people are trying to look for other factors in addition to the approach/learning strategy, which is possible to contribute to the development of critical thinking skills, such as interest factor majors students (IPA [science] and non-IPA [non-science]) as well as mathematical prior knowledge which has been owned previously. In addition, affective aspects that accompany any critical thinking skills (critical disposition) is a study that is still rare. This paper briefly present to peel the election factor of approaches and learning strategies, ie, problem based learning with "MURDER" strategy, shared interests and their interaction majors and mathematical prior knowledge of the result of performance of critical thinking skills and dispositions of PGSD students. Keywords : problem-based learning, the "MURDER" strategy, mathematical prior knowledge, critical thinking skills, critical thinking disposition.

read more

Content maybe subject to copyright    Report

[1]
p-ISSN 2355-5343
http://ejournal.upi.edu/index.php/mimbar
Article Received: 08/12/2014; Accepted: 27/02/2015
Mimbar Sekolah Dasar, Vol 2(1) 2015, 1-20
DOI: 10.17509/mimbar-sd.v2i1.1318
INTERAKSI PBL-MURDER, MINAT PENJURUSAN, DAN KEMAMPUAN
DASAR MATEMATIS TERHADAP PENCAPAIAN KEMAMPUAN BERPIKIR
DAN DISPOSISI KRITIS
Maulana
PGSD Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Sumedang
Jalan Mayor Abdurrahman No. 211 Sumedang 45322
Email: maulana@upi.edu
ABSTRACT
ABSTRAK
Selection of appropriate learning approaches
and strategies will facilitate the achievement of
these learning activities. Similarly, in mathematics
learning activities in PGSD (department of
preservice elementary school teacher), which is
demanding the development of a high level of
mathematical ability as well as critical thinking
skills. However, not many people are trying to
look for other factors in addition to the
approach/learning strategy, which is possible to
contribute to the development of critical thinking
abilities, such as students’ major interest factor
(IPA [science] and non-IPA [non-science]) as well
as mathematical prior knowledge which has
been owned previously. In addition, affective
aspects that accompany any critical thinking
abilities (called critical thinking disposition) is a
study that is still rare. This paper briefly present to
peel the election factor of approaches and
learning strategies, ie., problem-based learning
with "MURDER" strategy, shared interests and their
interaction majors and mathematical prior
knowledge of the result of performance of
critical thinking skills and dispositions of PGSD
students.
Keywords: problem-based learning, the
"MURDER" strategy, the interest of majors,
mathematical prior knowledge, critical thinking
skills, critical thinking disposition.
Pemilihan pendekatan dan strategi yang tepat,
tentu akan memudahkan tercapainya tujuan
kegiatan pembelajaran tersebut. Begitu pula
dalam kegiatan pembelajaran matematika di
PGSD, yang memang menuntut pengembangan
kemampuan matematis tingkat tinggi seperti
halnya kemampuan berpikir kritis. Akan tetapi,
tidak banyak orang yang mencoba melihat
adanya faktor lain di samping
pendekatan/strategi pembelajaran, yang
dimungkinkan ikut berkontribusi dalam
pengembangan kemampuan berpikir kritis
tersebut, misalnya saja faktor minat penjurusan
mahasiswa (IPA dan Non-IPA) serta kemampuan
dasar matematis yang telah dimiliki sebelumnya.
Selain itu, aspek afektif yang mengiringi
kemampuan berpikir kritis pun (disposisi kritis)
merupakan kajian yang masih jarang ditemui.
Tulisan ini hadir untuk mengupas secara singkat
mengenai faktor pemilihan jenis pendekatan
dan strategi pembelajaran, yakni problem-based
learning berstrategi “MURDER” dan interaksinya
bersama minat penjurusan serta kemampuan
dasar matematis terhadap hasil capaian
kemampuan berpikir dan disposisi kritis
matematis mahasiswa PGSD.
Kata kunci: problem-based learning, strategi
“MURDER”, minat penjurusan, kemampuan dasar
matematis, kemampuan berpikir kritis matematis,
disposisi berpikir kritis matematis.
How to Cite: Maulana, M. (2015). INTERAKSI PBL-MURDER, MINAT PENJURUSAN, DAN KEMAMPUAN DASAR MATEMATIS
TERHADAP PENCAPAIAN KEMAMPUAN BERPIKIR DAN DISPOSISI KRITIS. Mimbar Sekolah Dasar, 2(1), 1-20.
doi:http://dx.doi.org/10.17509/mimbar-sd.v2i1.1318.
PENDAHULUAN ~ Isu aktual dalam
pembelajaran matematika saat ini adalah
bagaimana upaya mengembangkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi (high
order thinking skillsHOTS), serta
menjadikannya sebagai tujuan penting
yang harus dicapai dalam pembelajaran
matematika. Kemampuan berpikir
matematis tingkat tinggi bersifat non-
algoritmik, kompleks, melibatkan

Maulana, Interaksi PBL-MURDER, Minat Penjurusan, dan Kemampuan Dasar Matematis
[2]
kemandirian dalam berpikir, seringkali
melibatkan suatu ketidakpastian sehingga
membutuhkan pertimbangan dan
interpretasi, melibatkan kriteria yang
beragam dan terkadang memicu
timbulnya konflik, menghasilkan solusi yang
terbuka, juga membutuhkan upaya yang
sungguh-sungguh dalam melakukannya
(Resnick, 1987; Arends, 2004).
Sehubungan dengan kegiatan berpikir
matematis tingkat tinggi, Schoenfeld
(1992) membaginya menjadi beberapa
hal yang meliputi: mencari dan
mengeksplorasi pola, memahami struktur
dan hubungan-hubungan matematis,
menggunakan data, merumuskan dan
memecahkan masalah, bernalar analogis,
melakukan estimasi, menyusun alasan
yang rasional, menggeneralisasi,
mengomunikasikan ide-ide matematis,
serta bagaimana memeriksa kebenaran
suatu jawaban.
Salah satu kemampuan berpikir yang
termasuk ke dalam kemampuan berpikir
tingkat tinggi adalah kemampuan berpikir
kritis. Ada empat desakan mengenai
perlunya dibiasakan mengembangkan
kemampuan berpikir kritis, yakni: (1)
tuntutan zaman yang menghendaki
warga negara dapat mencari, memilih,
dan menggunakan informasi untuk
kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, (2) setiap warga negara
senantiasa berhadapan dengan berbagai
masalah dan pilihan sehingga dituntut
mampu berpikir kritis dan kreatif, (3)
kemampuan memandang sesuatu
dengan cara yang berbeda dalam
memecahkan masalah, dan (4) berpikir
kritis merupakan aspek dalam
memecahkan permasalahan secara
kreatif agar peserta didik dapat bersaing
secara adil dan mampu bekerja sama
dengan bangsa lain (Wahab, 1996;
Maulana, 2007).
Berpikir kritis merupakan suatu proses yang
berujung pada pembuatan kesimpulan
atau keputusan yang logis tentang apa
yang harus diyakini dan tindakan apa
yang harus dilakukan. Berpikir kritis bukan
hanya untuk mencari jawaban saja,
melainkan lebih penting untuk
menanyakan kebenaran jawaban, fakta,
atau informasi yang ada, sehingga bisa
ditemukan alternatif solusi yang terbaik
(Ennis, 2000). Kemampuan berpikir kritis
tentunya dapat dikembangkan melalui
pembelajaran matematika di sekolah
ataupun perguruan tinggi, yang
menitikberatkan pada sistem, struktur,
konsep, prinsip, serta kaitan yang ketat
antara suatu unsur dan unsur lainnya.
Matematika dengan hakikatnya sebagai
ilmu yang terstruktur dan sistematis,
sebagai suatu kegiatan manusia melalui
proses yang aktif, dinamis, dan generatif,
serta sebagai ilmu yang mengembangkan
sikap berpikir kritis, objektif, dan terbuka,
menjadi sangat penting dikuasai oleh
peserta didik dalam menghadapi laju
perubahan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang begitu pesat.

Mimbar Sekolah Dasar, Volume 2 Nomor 1 April 2015
[3]
Kenyataannya, seperti yang diungkapkan
oleh Maier (1985) dan Begle (dalam
Darhim, 2004), tidak dapat dimungkiri
bahwa anggapan yang saat ini
berkembang pada sebagian peserta didik
adalah matematika merupakan bidang
studi yang sulit dan tidak disenangi, hanya
sedikit yang mampu menyelami dan
memahami matematika sebagai ilmu
yang dapat melatih kemampuan berpikir
kritis. Padahal, mereka sendiri tahu bahwa
matematika itu penting bagi
kehidupannya. Selain anggapan buruk
peserta didik terhadap matematika,
Slettenhaar (2000) berpendapat pula
bahwa pada model pembelajaran
sekarang ini, secara umum aktivitas
peserta didik hanya mendengar dan
menonton pengajarnya melakukan
kegiatan matematis, lalu pengajar itu
menyelesaikan masalah dengan satu
solusi, diakhiri pemberian soal latihan untuk
diselesaikan sendiri oleh peserta didik.
Kegiatan pembelajaran seperti itu,
menurut Rif’at (2001) disebut sebagai rote
learning, yakni kegiatan belajar yang
hanya membuat peserta didik cenderung
menghafal dan tanpa memahami atau
tanpa mengerti apa yang diajarkan,
sementara si pengajar sering tidak
menyadarinya. Hal senada juga
diungkapkan oleh Abdi (2004), bahwa
sebagian peserta didik merasakan
kesulitan dalam menyerap dan
memahami pelajaran matematika, tetapi
sulitnya memahami pelajaran matematika
yang diajarkan itu diperkirakan berkaitan
dengan cara mengajar guru di kelas yang
tidak membuat peserta didik merasa
senang dan simpatik terhadap
matematika, pendekatan yang dilakukan
guru matematika pada umumnya kurang
bervariasi.
Jenning & Dunne (1998) mengatakan
bahwa kebanyakan peserta didik
mengalami kesulitan dalam
mengaplikasikan matematika dalam
kehidupan sehari-harinya, karena pada
pembelajaran matematika, dunia nyata
hanya dijadikan tempat mengaplikasikan
konsep. Hal lain yang menyebabkan
sulitnya matematika bagi peserta didik
adalah karena pembelajaran matematika
dirasakan kurang bermakna. Guru dalam
pembelajarannya di kelas tidak
mengaitkan dengan pengetahuan
sebelumnya (prior-knowledge) yang telah
dimiliki oleh peserta didik dan mereka
kurang diberikan kesempatan untuk
menemukan kembali (reinvention) dan
mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika.
Wahyudin (1999) mengatakan bahwa
salah satu penyebab peserta didik lemah
dalam matematika adalah kurang
memiliki kemampuan untuk memahami
(pemahaman), untuk mengenali konsep-
konsep dasar matematika yang berkaitan
dengan pokok bahasan yang sedang
dibicarakan.
Bersandar pada alasan yang
dikemukakan di atas, jelaslah bahwa
kemampuan berpikir kritis peserta didik
sangat penting untuk dikembangkan.
Oleh karena itu, guru atau dosen

Maulana, Interaksi PBL-MURDER, Minat Penjurusan, dan Kemampuan Dasar Matematis
[4]
hendaknya mengkaji dan memperbaiki
kembali praktik-praktik pengajaran yang
selama ini dilaksanakan, yang mungkin
hanya sekadar rutinitas belaka.
Memang benar bahwa saat ini
pembelajaran matematika sudah cukup
banyak yang menekankan pada
pendekatan yang berorientasi perubahan
dan mengenalkan pentingnya pelibatan
peserta didik dalam memanfaatkan
matematika melalui suatu proses aktif.
Dalam proses pembelajaran matematika,
sudah cukup banyak guru/dosen yang
menciptakan situasi dan kondisi yang
memungkinkan peserta didiknya (siswa/
mahasiswa) untuk mengembangkan
kemampuan berpikir kritis matematis
(Gokhale (1995), Oleinik (2002), Mǎrcu
(2005), Jacob & Sam (2007), Aizikovitsh &
Amit (2009).
Beberapa studi mengenai disposisi berpikir
kritis, pernah juga dilakukan oleh Leader &
Middleton (2004), Yesildere & Turnuklu
(2006), serta Aizikovitsh & Amit (2010) yang
mengungkap indikator disposisi berpikir
kritis di antaranya: (1) pencarian
kebenaran, dengan menunjukkan
fleksibilitas dalam mempertimbangkan
beragam alternatif dan pendapat; (2)
keterbukaan pikiran, yang menunjukkan
pemahaman dan rasa menghargai
pendapat orang lain; (3) analitisitas,
dengan menunjukkan
kegigihan/ketabahan saat menghadapi
kesulitan; (4) sistematisitas, dengan
menunjukkan sikap rajin/tekun dalam
melakukan pencarian informasi yang
relevan, (5) kepercayaan diri, yang
mengacu pada rasa percaya diri siswa
atas kemampuannya sendiri untuk
memberikan alasan/penalaran; (6) rasa
ingin tahu, dengan menunjukkan
bagaimana siswa yang bersangkutan
memiliki perhatian untuk terus peka
terhadap informasi (well-informed); (7)
kedewasaan, dengan menunjukkan
kehati-hatian dalam membuat atau
mengubah keputusan.
Terlepas dari masalah itu, semua kajian
mengenai kemampuan berpikir dan
disposisi kritis yang sudah dilakukan di
jenjang sekolah menengah dan
perguruan tinggi, belum menunjukkan
bagaimana keberhasilan kemampuan
berpikir kritis, kreatif, dan investigatif pada
mahasiswa calon guru sekolah dasar
(mahasiswa PGSD). Jika kemampuan
berpikir kritis, kreatif, dan investigatif para
mahasiswa calon guru SD tidak
dikembangkan selama mengenyam
pendidikan kesarjanaannya, maka bukan
mustahil setelah mereka lulus dan menjadi
guru SD, mereka kesulitan pula untuk
mengembangkan kemampuan berpikir
dan disposisi kritis siswanya. Padahal,
mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah
Dasar (PGSD) adalah mahasiswa yang
disiapkan untuk menjadi guru kelas yang
profesional di SD, yang seharusnya
mampu menumbuhkembangkan
kemampuan berpikir dan disposisi kritis
siswanya seperti yang diamanahkan oleh
kurikulum di Indonesia.

Mimbar Sekolah Dasar, Volume 2 Nomor 1 April 2015
[5]
Keadaan yang ironis terjadi, karena di satu
sisi kemampuan berpikir kritis peserta didik
sangat penting untuk dimiliki dan
dikembangkan, akan tetapi di sisi lain
ternyata kemampuan berpikir kritis peserta
didik tersebut masih kurang. Hal ini dapat
dilihat dari hasil studi pendahuluan yang
dilakukan oleh Maulana (2007) selama
beberapa semester terhadap mahasiswa
program D-2 dan S-1 PGSD yang memiliki
background pendidikan terakhir sangat
beragam. Mahasiswa tersebut berasal dari
SMA, SMK, MA, dan SPG (khusus pada
kelas lanjutan dan dualmodes). Adapun
program studi yang mereka ambil adalah
IPA, Bahasa, IPS, Manajemen, dan Teknik.
Jika mahasiswa tersebut dikelompokkan
menjadi kelompok besar, maka terdapat
dua kelompok besar yakni mahasiswa
yang berlatar belakang IPA dan NON-IPA.
Dalam studi pendahuluan yang telah
dilakukan, diberikan tes kemampuan
berpikir kritis dengan hasilnya bernilai rata-
rata kurang dari 50% dari skor maksimal
untuk kedua kelompok tersebut (Maulana,
2007; Maulana, 2011).
Semua informasi yang ditemukan di
lapangan tersebutmengenai rendahnya
kemampuan berpikir kritis matematis
mahasiswa calon guru, khususnya PGSD
tidak selayaknya dibiarkan begitu saja.
Akan tetapi, perlu kiranya dilakukan
sebuah upaya untuk menindaklanjutinya
dalam rangka perbaikan, salah satu
alternatifnya adalah dengan menerapkan
suatu strategi dan pendekatan
pembelajaran yang lebih inovatif. Dalam
hal ini Ausubel (Ruseffendi, 1992)
menyarankan agar sebaiknya digunakan
pendekatan yang menggunakan metode
pemecahan masalah, inkuiri, dan metode
belajar yang menumbuhkembangkan
kemampuan berpikir kritis.
Seiring dengan kemampuan berpikir kritis
yang harus dikembangkan, maka tak
lepas dari ketiga kemampuan tersebut
ada disposisi matematis yang harus turut
ditumbuhkembangkan secara bersamaan
pula. Dalam pembelajaran matematika,
pembinaan komponen ranah afektif
semacam disposisi matematis
(mathematical disposition) akan
membentuk keinginan, kesadaran,
dedikasi dan kecenderungan yang kuat
pada diri peserta didik untuk berpikir dan
berbuat secara matematis dengan cara
yang positif dan didasari dengan iman,
taqwa, dan ahlak mulia (Sumarmo, 2011).
Pengertian disposisi matematis seperti di
atas pada dasarnya sejalan dengan
makna yang terkandung dalam
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Dengan demikian pengembangan
budaya dan karakter, kemampuan
berpikir dan disposisi matematis pada
dasarnya dapat ditumbuhkan pada diri
peserta didik secara bersama-sama.
Disposisi matematis yang berkaitan
dengan kemampuan berpikir kritis, dalam
hal ini diistilahkan sebagai disposisi kritis.
Ketika seseorang sedang melakukan
aktivtas berpikir kritis, maka “aku” atau
pribadi orang itu memegang peranan

Citations
More filters

Kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa menggunakan pendekatan problem-based learning (pbl)

TL;DR: In this article, a quasi-experiment was conducted to prove that learning with Problem-Based Learning (PBL) approach is significantly better than conventional learning in improving problem solving ability and mathematical disposition of student.

Pengaruh pendekatan problem-centered learning terhadap kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa

TL;DR: In this article, a pendekatan in Darmaraja merupakan sebuah kegiatan yang menjadikan masalah sebagai kegiai yang dikerjakan siswa.

Pengaruh pendekatan kontekstual berstrategi relating, experiencing, applying, cooperating, transferring (react) terhadap kemampuan representasi matematis siswa

TL;DR: In this article, a metode dalam penelitian ini yaitu siswa kelas IV SD se-Kecamatan Cisalak Kabupaten Subang ying sekolahnya berada pada kelompok sedang.

Pengaruh pendekatan kontekstual berbantuan media coper pada materi perbandingan terhadap kemampuan1pemahaman matematis dan motivasi1belajar siswa

TL;DR: In this paper, the effect from contextual approach with coper media support to mathematical understanding ability and study motivation, and for knowing rhe correlation between mathematical understand ability with study motivation was found.

Penerapan pendekatan investigatif berstrategi quantum untuk meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa

TL;DR: Based on the result of this research, investigative approach of quantum strategy can be used as a solution to improve the mathematical representation ability of elementary school students.
References
More filters

Pengaruh pendekatan kontekstual berstrategi think-talk-write terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis

TL;DR: In this paper, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh pendekatan kontekstual berstrategi TTW and pendekaten konvensional serta membuktikan bahwa pendekaton kon-tea konstual terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

Pengaruh pendekatan problem-based learning (pbl) berbasis multiple intelligences terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada materi pecahan kelas iv semester 2

TL;DR: In this article, the authors apply the approach to Problem-Based Learning-based Multiple Intelligences as an effort to increase the ability of the mathematical problem solving of students which will also involve a variety of intelligence on the student in accordance with the theory of multiple intelligence expressed.

PENGARUHi MODELv KOOPERATIFn TIPEy NUMBnERED HEADSt TOGETHER (iNHT) TERHADAlP KEMAMlPUAN KOMUNIKASIi lMATEMATIS DAN KEPERCAYAAN DIRI SISiWA SEKOLAH DASAR

TL;DR: In this article, the authors implemented a cooperative modellio f type Numbered Heads Together (NHT) to improve the mathematical communication skills and self-confidence of elementary school students.